20111211

Waktu (2)

Kupikir waktu akan membuat kita benar-benar berpisah. Sampai kelak saat aku melihat pagi yang kau lihat adalah malam. Namun justru waktu yang mempertemukan kita kembali ketika kita bersama menggerutu oleh panasnya siang. Seperti dulu. Dan masih, kita bisa bercengkerama dan bercinta.

Waktu mempertemukan kita hari ini, di tempat ini, pukul saat ini. Dalam keramaian, kita menemukan satu sama lain. Mata beradu mata padahal tadinya kita berdiri berjauhan terjebak lautan manusia yang sedang sibuk mencari. Anehnya kita yang tidak saling mencari justru saling menemukan.

“Kamu akhirnya pulang,” katamu.

“Saya tidak pulang. Saya sedang berkelana,” aku menjawab.

“Bagi saya, kamu pulang. Saya menemukan kamu sekarang adalah bentuk kepulangan kamu untuk saya. Saya beruntung.”

“Kamu sedang menunggu orang lain, bukan saya.”

“Ya, saya memang sedang menunggu orang lain. Tapi kalau ternyata kamu yang saya temukan, buat apa orang lain itu tetap saya tunggu?”

Aku ingin mengerti saat kesedihan dan rasa sepi itu mengantarmu kembali padaku. Kembali mendebik-debik dan melenguh dan dengan segala kekuatan kau mengejan membuat aku sempoyongan tak tahu arah. Bahasamu adalah birahi, sebab kau itu binatang. Waktu menjadikanmu manusia, tapi di hadapanku kau tetap sama. Binatang.

Kulit kita telah saling mengenal, bahkan hingga yang terdalam dan yang tersembunyi. Waktulah sang juru selamat yang membuat kita tak lagi mengenal hati, tapi juga kulit. Yang lalu dibungkus bulu. Makanya bisa aku tahu kalau kau itu binatang, sebab manusia tak berbulu tapi berambut seperti monyet. Kau juga perkasa dan tahan lama. Manusia tak begitu. Aku menikmatinya segenap jiwa dan raga. Desahku liar dan tawaku lebar menghargaimu. Sungguh aku tulus melakukannya dan kau tertawa tak percaya. Waktu tidak pernah membiarkan kita berlama-lama jadi aku harus memanfaatkan kali ini sebaik mungkin. Aku bilang padamu tapi lagi kau tak percaya. Kau jadi skeptis.

Sedikit basa-basi mengantar kita sampai pada bar ini. Bar di sebuah hotel bintang lima di pusat kota, tempat pertama kali kita berciuman.

“Mau ke mana?” kau bertanya sambil menyalakan rokok.

“Ke mana saja. Kamu tahu saya tidak pernah tahu mau ke mana,” jawabku sambil melihat-lihat daftar minuman. “Kamu mau pesan apa?”

“Kamu masih orang yang sama. Yang pergi ke sana ke mari, mudah menghilang karena tidak terikat.”

“Saya tanya, kamu mau pesan apa?” sedikit kesal saya ulang pertanyaan saya.

“Pesan yang biasa saja, kamu tahu dari dulu saya suka apa.”

“Dulu saya tahu. Yang sekarang saya tidak tahu.”

Terkekeh kau menjawab, “Kesukaan saya tidak berubah. Sama seperti saya suka kamu, sampai sekarang.”

“Semua bajingan memang pandai bicara,” jawabku sambil ikut menyalakan rokok.

“Kalau bagi kamu saya termasuk salah satu bajingan itu, kamu salah. Tidak semua bajingan pandai bicara. Saya termasuk yang tidak pandai. Saya hanya jujur,”

“Jadi siapa yang tadi kamu tunggu?”

Kau sedikit terhenyak, mungkin bingung karena tiba-tiba aku bertanya begitu. Lalu kau menjawab, nadamu ragu, “Calon.”

“Calon istri?”

Kau hanya mengangguk. Lalu menggeleng cepat. Wajahmu terlihat berpikir sebelum menjawab, “Baru calon tunangan.”

“Oh,” jawabku singkat.

Banyak yang berubah dari dirimu. Termasuk sinar mata yang kelam dan nyalang itu. Kau berusaha melindungi diri dari banyak hal termasuk aku. Aku tidak paham mengapa kau harus berubah tapi itu jalanmu. Lalu kita bercerita tentang banyak hal. Tentang senja yang jingga, tentang malam yang hitam. Tentang siang yang gersang, tentang pagi yang perih. Aku mendengarnya perlahan, sebab aku ingin terus mendengar suaramu dan mencium bau tubuhmu. Bau yang mengumbar sayang yang terbungkus birahi. Demi Tuhan, aku selalu menyukainya, jauh sejak bertahun lalu.

Bertahun lalu itu aku masih empat belas tahun dan kau sudah dua puluh satu tahun. Aku belum tahu apa-apa soal dunia lalu aku kenal kau. Kau yang masih memiliki mata yang terang dan tidak pernah lelah. Kita saling jatuh cinta, dan aku yang lugu dan naif jatuh sejatuh-jatuhnya dalam cinta. Sebab kau beri tahu aku apa-apa soal dunia, termasuk kenikmatan yang kau cecapkan lewat bibirku, lewat payudaraku yang waktu itu belum tumbuh benar, dan lewat lubang kelaminku yang masih sempit belum terjamah apa pun.

Bertahun lalu itu aku masih malaikat. Jiwaku lugu seperti bocah. Waktu itu kau bilang, walau aku sudah berada di masa akil balik, aku tidak seperti anak lainnya yang ingin dianggap dewasa. Aku tetap menyimpan jiwa kanak-kanakku dalam tubuh yang sebenarnya butuh diisi jiwa menjelang dewasa. Maka kau jejalkan itu kelaminmu padaku supaya aku cepat tumbuh sesuai waktunya.

Sayangnya aku menolak. Lalu aku pergi begitu saja.

Kepergianku mungkin membuat kau marah. Aku tak tahu lagi cerita hidupmu setelah kepergianku bertahun lalu itu. Sampai hari ini. Kita di sebuah kamar di hotel yang sama tempat kita tadi minum.

Sehari satu jam satu putaran tak akan pernah cukup untukmu. Mungkin candumu bukan lagi mariyuana, tapi aku. Kuanggap aku. Aku bisa lebih seperti yang kau mau. Sehari dua puluh empat jam dua puluh empat putaran pun, kalau kau sanggup aku akan sanggupi. Hitungannya seperti senam aerobik yang berapa kali berapa ganti posisi ganti gaya. Itulah mengapa aku jadi pertama yang kau cari bila ada apa-apa.

Detik ini kau peluk aku dengan segala rasa. Seperti pertama kali ketika aku masih malaikat. Aku tak menganggap itu palsu, hanya mengartikannya sebagai ucapan terima kasih. Sebab tak mungkin itu rindu atau haru, apalagi cinta. Menahun kita saling melupakan perasaan sentimental seperti itu. Juga karena aku tak lagi malaikat, dan waktu telah mengantarku mengenal neraka. Maka berlayarlah kita mengarungi lautan ketidakpastian di mana hanya ada aku dan kau yang termenung karena lagu sendu. Kita tertatih dengan satu dayung rapuh mencoba ke tepian.

Sayangnya ombak menghajar kita terlalu kencang. Walau tak lagi aku malaikat, aku belum setan. Maka aku jatuh tak bisa berenang, tak lama tenggelam. Kau yang binatang bisa bertahan sehingga selamat. Di saat seperti ini aku sangat ingin menangis dan menyesal, karena aku tahu hanya aku yang akan begini. Yang lain tidak. Namun, meski aku tahu, aku tetap berkeras untuk tetap seperti ini. Waktu menawarkan aku pilihan untuk berubah, sayangnya aku sudah memiliki jawaban sendiri.

Bercinta denganmu adalah yang ternikmat bagiku. Demikian juga bagimu, bercinta denganku adalah yang ternikmat. Sebab kita telah berlatih dan tertatih untuk saling memuaskan. Tak ada yang lebih baik dibanding kita. Walau begitu adanya, cukup kita bersama untuk sekedar bercinta tanpa cinta. Di luar sana banyak yang lebih baik memberi cinta kepada kita. Waktu yang pernah berkata.

“Tetaplah ada untuk saya,” katamu.

“Saya ada untuk diri saya sendiri, bukan untuk siapa pun,” kataku.

“Kamu egois.”

“Ya, saya egois. Tapi birahi saya tidak pernah egois. Birahi saya mau membagi.”

Kau tersenyum tidak mengerti, tapi tidak peduli.

Dan kita tetap, akan selalu, bercinta.



catatan: kalau bukan buat tugas penpop, tidak akan saya lanjutkan tulisan ini.