catatan: kadang ilham datang dari mana pun. maka saya cuma mau bilang bahwa ini sekadar cerita rekaan saya sebagai perwujudan angan-angan. saya harap kejadiannya akan betul-betul seperti ini. selebihnya, ini hanya pemenuhan tugas penulisan populer.
Ini soal perpisahan.
Pernah mengalami perpisahan? Semua orang pernah. Pernah mengalami kehilangan? Semua orang juga pernah. Tenang. Saya tidak akan memulai tulisan ini dengan ceramah panjang mengenai definisi perpisahan dan kehilangan. Saya tidak berani sok tahu soal yang dua ini. Setiap orang memaknainya dengan cara berbeda, menyembuhkan luka yang ditorehkan juga dengan cara yang berbeda. Masing-masing punya cara. Melalui tulisan ini saya hanya mau bercerita mengenai seseorang yang membuat saya punya makna tersendiri mengenai perpisahan dan kehilangan. Perjalanan kehidupan.
Namanya An. Saya lebih suka menyebutnya begitu.
Ini bermula ketika saya “terdampar” di suatu tempat baru, sendirian. Saya seorang asing di lingkungan ini dan sekonyong-konyong An datang dalam hidup saya. Muncul, menyapa. Anak aneh. Tadinya saya anggap dia aneh. Kelak saya sadar bahwa apa yang saya anggap aneh dari An adalah hal-hal menakjubkan darinya. An datang begitu saja dengan segenap pengetahuannya tentang saya dan saya tidak tahu apa-apa tentang dia. Pertemuan pertama kami bahkan tidak terlalu saya ingat karena terlalu absurd. Saya tidak terlalu suka mengingat-ingat bagian ini karena saya sendiri tidak pernah bisa ingat betul, tapi bisa saja saya mengira-ngira. Bahwa ini terjadi mungkin tiga tahun lalu, bahwa pertama kali saya mengenal An adalah ketika dia masih kelas sembilan dan saya kelas sepuluh. Ketika kami terbiasa menjadi orang terakhir yang menunggu sesuatu di sekolah kami. Kami berdua masih remaja labil.
An bukan perempuan yang menarik fisiknya. Dia perempuan biasa. Tubuhnya tidak terlalu tinggi walau saya tetap lebih pendek darinya, tidak bisa dibilang langsing namun tidak gemuk juga, berkulit cerah, bermata sipit, berambut lurus panjang. Biasa saja, lazimnya perempuan kebanyakan, bukan yang cantik mempesona dan mudah membuat orang jatuh cinta. An merupakan peranakan Tionghoa, sehingga ketika berbicara dia memiliki logat yang sedikit unik. Walau begitu dia bukan seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dia selalu malu setiap saya menunjukkan ekspresi ingin menggoda logatnya yang aneh itu. An juga bukan seseorang yang memiliki selera humor tinggi. Juga bukan orang yang menyenangkan untuk diajak berdialog. Bukan berarti dia seorang yang serius dan tidak bisa diajak bercanda. Hanya saja ketika mengobrol bersama An, saya dan mungkin orang-orang lain akan sulit terpancing untuk bisa tertawa lepas terpingkal-pingkal. An seorang pendengar walau sebenarnya ketika sedang bicara suaranya enak didengar. Sayangnya saya dan An sama-sama tidak suka bicara. Pertemanan kami lebih banyak dihiasi hening.
Kami berdua biasa menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah. Pukul empat sore biasanya sekolah sudah mulai sepi, tinggal beberapa orang yang belum dijemput, saya dan An termasuk di dalamnya. Obrolan singkat berkembang panjang walau tetap bukan yang berkicau penuh senda gurau. Singkatnya, kami semakin dekat berteman.
Awal mengenal An, saya melihat An memiliki tatapan mata yang dalam, yang jarang dimiliki orang lain. Tatapan mata yang sakit dan lelah. Hidupnya tidak sesederhana tingkahnya yang naif. Orang tuanya yang sering bertengkar dan melakukan kekerasan sebelum akhirnya bercerai, tekanan pergaulan di sekolah, dan masih banyak lagi hal-hal yang menyebabkan tatapan matanya seperti itu. Ketika saya bilang pada An mengenai matanya, An bilang mata saya juga seperti itu. Saya tertawa. Sebab mata redup yang tidak bersinar itu hanya saya lihat di mata An.
An adalah seorang yang piawai bermain flute dan xylophone. Sebelumnya saya tidak tahu ini karena An sangat jarang menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dia miliki. Namun bisa jadi inilah yang membuat An dan saya jadi semakin dekat. Saya sedikit bisa bermain piano dan xylophone, anehnya inilah yang membuat An berani membuka diri dan mau mengaku dia bisa bermain alat musim sepiawai itu. Kadang-kadang ketika kami berdua sama-sama tidak tahu harus bicara apa lagi, An suka meminta saya memainkan sesuatu sampai An gatal sendiri ingin bermain flute, lalu obrolan bisa berlangsung kembali. Kami biasa melakukan ini di rumahnya. An bukan ingin sok misterius, dia hanya terlalu tidak percaya diri, mungkin sama seperti saya. Berada di dekat An membuat saya merasa diperlakukan lebih. Saya nyaman. An sering berbagi hal-hal yang hanya saya yang boleh tahu dan orang lain tidak. An mempercayai saya. Kami bukan perempuan yang suka mengumbar air mata, namun ketika kami sedang bersama, An bisa menangis dan marah sepuasnya hanya di depan saya. An bebas bermanja-manja pada saya, memeluk saya yang kecil untuk menyandarkan beban hidupnya. Sedikit demi sedikit, mata An berubah. Sinar itu muncul walau hanya ketika bersama saya.
Saya suka kejutan, dan mengenal An lebih jauh adalah siap menerima banyak kejutan.
Ada satu hal yang membuat hubungan pertemanan saya dengan An menjadi kompleks, tapi bisa jadi inilah yang membuat An benar-benar menarik dan berkesan bagi saya. An seorang penyuka sesama jenis. Lesbian. Bukan, saya bukan pasangannya. Setidaknya saya sendiri tidak pernah merasa menjadi pasangan An karena saya bukan seorang yang menyukai sesama perempuan. Namun entah sejak kapan, mungkin sedari awal kami menjadi dekat, An menganggap saya adalah pasangannya dan mengartikan hubungan kami ini sebagai bentuk terikat yang lebih dari hubungan pertemanan. “Hubungan sepihak”, namun bukan juga hubungan satu arah karena tetap berlangsung dialog dalam hubungan kami ini. Bagi saya, ini sekadar pertemanan yang erat.
Bisa jadi ini diawali oleh pengakuan An bahwa dia kesepian dan membutuhkan teman dekat, dan kebetulan saya adalah orang yang dekat dengannya saat itu. Lalu An cuma bilang bahwa dia suka saya, sayang saya, jatuh cinta pada saya. An bukan seorang lesbian dengan tipe-tipe tertentu. Entah pernah ketularan atau bagaimana, An hanya jatuh cinta pada orang yang mampu mengisi kekosongan hatinya. Dia tidak memposisikan dirinya sebagai lelaki, atau perempuan, atau keduanya. Dia menjadi dirinya sendiri. An bukannya tidak bisa suka dengan lelaki, saya rasa. Secara biologis, An masih memiliki birahi yang hanya bisa dirangsang oleh lawan jenis. Mungkin dia hanya belum tertarik pada pria manapun karena trauma pada perceraian orang tuanya. Sayangnya, An tidak seharusnya menjatuhkan cintanya pada saya karena saya bukan orang yang bisa memberikan apa yang dia ingin dan butuhkan. Kalaupun harus saya, maka An hanya akan merasakan sakit karena merasa hubungan ini berjalan sepihak saja.
Dan itulah yang terjadi.
Seintim apapun hubungan kami, tidak pernah terbersit dalam pikiran saya bahwa kami berdua menjalin hubungan lebih dari teman. Saya sering sekali mengingatkan An bahwa kami hanya berteman. Berteman. Namun sepertinya hal itu tidak terlalu dipedulikan An sehingga dia terus memperlakukan saya sebagai kekasihnya. An posesif. An selalu cemburu ketika saya sedang bersama pacar saya yang lelaki dan memberi perhatian yang sepertinya ingin An dapatkan dari saya. An sering meminta ciuman dari saya dan saya tolak. Pelukan yang lebih dari sekadar pelukan teman pun saya tolak. An berkeras dengan memanggil saya panggilan-panggilan sayang yang lazim digunakan pasangan kekasih. Saya tidak menjauh atau berusaha menjauh karena saya sadar dengan akal sehat saya bahwa saya menyayangi An sebagai seorang sahabat yang “ingin saya selamatkan”. Mungkin saya sedikit sok tahu, tapi buat saya, An belum sejatuh itu. Sayangnya pilihan An berbeda. Ia memilih untuk tetap jatuh cinta bukan pada lelaki. Ia memilih untuk jatuh cinta pada perempuan. Pada saya.
Saya tidak pernah menolak perhatian dan kasih sayang An pada saya. Saya hanya membalasnya dengan cara berbeda. Ini pilihan dan hak saya, seharusnya An tidak perlu merasa sakit. Hubungan kami tidak seperti dulu lagi ketika kami masih bisa saling membuka diri satu sama lain. Hubungan ini menjadi semakin tidak berada di jalurnya yang tepat, ketika An mulai menyakiti dirinya sendiri secara fisik. Saya semakin tidak paham. Saya diam.
Lalu An pergi. Tanpa kata-kata. Tanpa suara. Tanpa tanda. Tidak ada sisa peninggalan atau apa pun yang bisa menjelaskan semua.
Sebagian diri saya masih menginginkan jawaban pasti mengapa An harus pergi, lari. Jawaban pasti langsung dari mulutnya. Saya tidak pernah merasa bersalah memperlakukan dia seperti itu walau saya tahu hal itu yang memungkinkan An pergi. Anehnya saya ikut merasa sakit. Merasa kehilangan. Saya ternyata telah memiliki kenangan.
Bertahun sejak kepergian An dari hidup saya, saya hanya mendengar kabar-kabar yang angin bawa untuk saya. Baik, ini berlebihan. Jangan artikan kata-kata saya barusan secara harafiah. Saya masih punya beberapa orang tempat saya bisa bertanya bagaimana kabar An saat ini. Setidaknya saya tahu dia hidup bahagia di tempatnya sekarang. Saya tahu jauh di tempatnya sekarang, An juga masih mencari-cari kabar mengenai saya walau dia sendiri berusaha untuk tidak peduli. Saya tahu. Cukup tahu. Mungkin ini berkaitan dengan waktu, penyembuhan luka.