20150608

Antara Gengsi dan Ingin Belajar: Kebutuhan Berbahasa Asing Kita

Bahasa adalah media komunikasi yang penting dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Melalui bahasa, paling tidak dua individu dapat saling memahami satu sama lain sehingga kehidupan bermasyarakat itu dapat tercipta. Bahkan dari masa paling purba sekalipun, bahasa telah menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan. Bayi yang baru lahir telah mampu berbahasa melalui gerakan dan tangis. Ini membuktikan bahwa pemerolehan bahasa dimulai sejak dini, sehingga penting bagi anak untuk belajar bahasa di bawah bimbingan orang tua dan lingkungan yang baik.
Di dunia modern seperti sekarang, kemampuan berbahasa menjadi suatu gengsi gaya hidup urban, terutama dalam berbahasa asing. Bisa berbahasa asing sebanyak dan selancar mungkin, apalagi jika bisa berlogat seperti penutur aslinya, menjadi hal yang dapat meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Tidak heran jika sedari dini, anak-anak seusia balita telah dituntut orangtuanya untuk mampu berbahasa asing lebih dari satu bahasa. Caranya dengan memasukkan mereka ke kursus-kursus bahasa asing, sekolah internasional yang bahasa pengantarnya adalah bahasa asing, dan lain sebagainya. Di satu sisi hal ini tidak salah, bahkan baik. Tidak dapat dimungkiri bahwa memahami bahasa asing merupakan hal yang krusial karena dengan begitu seseorang dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas lagi untuk dapat bersaing di dunia modern. Namun, sebaik apa?
Seiring dengan perkembangan zaman, pengajaran bahasa telah mengalami banyak inovasi dan modifikasi agar bisa memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu banyak metode pengajaran bahasa yang ditawarkan oleh para akademisi, pengajar, dan institusi dengan berbagai pendekatan yang disesuaikan dengan usia, kemampuan berpikir, kondisi psikologis, pekerjaan, bahkan harga pembelajaran itu sendiri. Pengajaran bahasa tidak lagi menjadi sesuatu yang kaku, kolot, sekadar berisi penerjemahan dan sebagainya, tetapi menjadi sarana untuk bermasyarakat itu sendiri.
Terkait dengan gengsi gaya hidup dan tuntutan perkembangan zaman, ada poin yang berkaitan dengan ini semua yaitu “harga”. Pada konteks ini, saya melihat bahwa pengajaran bahasa sekarang ini telah menjadi komoditi pendidikan. Bahasa memiliki banyak fungsi misalnya di dalam pendidikan, pergaulan, bisnis, dan lain-lain. Namun, fungsi-fungsi yang lain itu akhirnya tenggelam ketika melihat realita bahwa anak usia dini kini sudah cas cis cus berbahasa asing dan bingung dengan tata bahasa pertamanya. Ini masalahnya.
Manusia memiliki kemampuan menguasai beberapa bahasa sekaligus. Itu sebabnya ia dapat menguasai bahasa ibu, bahasa yang ia gunakan sehari-hari, dan bahasa asing. Bahasa ibu dapat berupa bahasa daerah atau di Indonesia ini adalah bahasa Indonesia. Kenyataannya sekarang, masyarakat urban seolah-olah ingin menggeser bahasa ibunya dengan bahasa asing. Supaya terlihat canggih, anak dibekali—anggap saja ini pasangan minimal dijejali—kursus-kursus bahasa asing sebanyak mungkin. Yang mahal tentu saja; khas ibukota. Akibatnya tidak hanya dirasakan oleh dompet orangtua tetapi tentu saja pada perkembangan anak. Harus diakui tidak semua anak secanggih itu. Kecerdasan linguistik setiap anak berbeda, sehingga ketika mereka dijejali beragam bahasa padahal bahasa aslinya saja belum mapan, tentu menimbulkan kebingungan tersendiri pada anak. Anak justru jadi pasif, tidak lancar bicara, dan bingung terhadap bahasanya sendiri.
Sampai di titik ini, pengajaran bahasa yang ideal adalah yang memapankan bahasa yang ia gunakan sehari-hari, dan sebaiknya pengajaran bahasa asing dilakukan satu per satu sesuai dengan kemampuan si anak. Dengan penyerapan yang perlahan-lahan, anak justru lebih matang dalam berbahasa dan tidak bingung. Ini akan membuat anak justru lebih percaya diri dan memaksimalkan kemampuannya berbahasa, bahkan tertarik untuk belajar bhasa asing lebih lanjut.

Esai untuk tugas Pengajaran Bahasa
Oktober 2013