Bahasa
adalah media komunikasi yang penting dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Melalui bahasa, paling tidak dua individu dapat saling memahami satu sama lain
sehingga kehidupan bermasyarakat itu dapat tercipta. Bahkan dari masa paling
purba sekalipun, bahasa telah menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan. Bayi
yang baru lahir telah mampu berbahasa melalui gerakan dan tangis. Ini
membuktikan bahwa pemerolehan bahasa dimulai sejak dini, sehingga penting bagi
anak untuk belajar bahasa di bawah bimbingan orang tua dan lingkungan yang
baik.
Di
dunia modern seperti sekarang, kemampuan berbahasa menjadi suatu gengsi gaya hidup
urban, terutama dalam berbahasa asing. Bisa berbahasa asing sebanyak dan
selancar mungkin, apalagi jika bisa berlogat seperti penutur aslinya, menjadi
hal yang dapat meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Tidak heran jika sedari
dini, anak-anak seusia balita telah dituntut orangtuanya untuk mampu berbahasa
asing lebih dari satu bahasa. Caranya dengan memasukkan mereka ke kursus-kursus
bahasa asing, sekolah internasional yang bahasa pengantarnya adalah bahasa
asing, dan lain sebagainya. Di satu sisi hal ini tidak salah, bahkan baik.
Tidak dapat dimungkiri bahwa memahami bahasa asing merupakan hal yang krusial
karena dengan begitu seseorang dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas lagi
untuk dapat bersaing di dunia modern. Namun, sebaik apa?
Seiring
dengan perkembangan zaman, pengajaran bahasa telah mengalami banyak inovasi dan
modifikasi agar bisa memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu banyak metode
pengajaran bahasa yang ditawarkan oleh para akademisi, pengajar, dan institusi
dengan berbagai pendekatan yang disesuaikan dengan usia, kemampuan berpikir,
kondisi psikologis, pekerjaan, bahkan harga pembelajaran itu sendiri.
Pengajaran bahasa tidak lagi menjadi sesuatu yang kaku, kolot, sekadar berisi
penerjemahan dan sebagainya, tetapi menjadi sarana untuk bermasyarakat itu
sendiri.
Terkait
dengan gengsi gaya hidup dan tuntutan perkembangan zaman, ada poin yang
berkaitan dengan ini semua yaitu “harga”. Pada konteks ini, saya melihat bahwa
pengajaran bahasa sekarang ini telah menjadi komoditi pendidikan. Bahasa
memiliki banyak fungsi misalnya di dalam pendidikan, pergaulan, bisnis, dan
lain-lain. Namun, fungsi-fungsi yang lain itu akhirnya tenggelam ketika melihat
realita bahwa anak usia dini kini sudah cas cis cus berbahasa asing dan
bingung dengan tata bahasa pertamanya. Ini masalahnya.
Manusia
memiliki kemampuan menguasai beberapa bahasa sekaligus. Itu sebabnya ia dapat
menguasai bahasa ibu, bahasa yang ia gunakan sehari-hari, dan bahasa asing.
Bahasa ibu dapat berupa bahasa daerah atau di Indonesia ini adalah bahasa
Indonesia. Kenyataannya sekarang, masyarakat urban seolah-olah ingin menggeser
bahasa ibunya dengan bahasa asing. Supaya terlihat canggih, anak
dibekali—anggap saja ini pasangan minimal dijejali—kursus-kursus bahasa asing sebanyak
mungkin. Yang mahal tentu saja; khas ibukota. Akibatnya tidak hanya dirasakan
oleh dompet orangtua tetapi tentu saja pada perkembangan anak. Harus diakui
tidak semua anak secanggih itu. Kecerdasan linguistik setiap anak berbeda,
sehingga ketika mereka dijejali beragam bahasa padahal bahasa aslinya saja
belum mapan, tentu menimbulkan kebingungan tersendiri pada anak. Anak justru
jadi pasif, tidak lancar bicara, dan bingung terhadap bahasanya sendiri.
Sampai
di titik ini, pengajaran bahasa yang ideal adalah yang memapankan bahasa yang
ia gunakan sehari-hari, dan sebaiknya pengajaran bahasa asing dilakukan satu
per satu sesuai dengan kemampuan si anak. Dengan penyerapan yang
perlahan-lahan, anak justru lebih matang dalam berbahasa dan tidak bingung. Ini
akan membuat anak justru lebih percaya diri dan memaksimalkan kemampuannya berbahasa,
bahkan tertarik untuk belajar bhasa asing lebih lanjut.
Esai untuk tugas Pengajaran Bahasa
Oktober 2013