Handphonenya berdering. Cukup panjang untuk dapat membangunkannya dari tidur siangnya yang sunyi. Setengah matanya yang kantuk berat terbuka mencari-cari benda yang dengan laknat telah membuyarkan mimpinya.
Dering itu mendadak berhenti, mungkin yang menelepon jengah menunggu. Ia berdecak kesal dan mencoba menuntaskan mimpi yang tertunda. Namun hanya sedetik kesempatannya, sebab dering itu kembali berbunyi. Kantuknya hilang berganti marah, dan sekejap berganti kejut saat melihat nama yang terpampang di layar handphonenya yang berkedap-kedip. Nama yang begitu melekat dalam ingatannya, namun begitu ingin dilupakannya. Baginya sekarang waktu membeku sekaligus melebur bersama kerinduan yang tak pernah surut. Ia sadar jantungnya berdetak terlalu cepat sampai-sampai membuatnya sesak. Tubuhnya menegang. Ia tahu hanya satu penyebabnya. Hanya satu orang yang mampu membuatnya seperti itu.
Tangannya gemetar menekan tombol terima.
“Halo,” getir ia menjawab. Hening.
“Halo,” suara di seberang menjawab.
Ia menggigit bibir. Bingung mau berucap apa. Hatinya yang telah sekian lama ditata agar tak terlihat hancur, kini kembali berantakan.
“Tumben nelpon. Ada apa?” ia mencoba menyembunyikan pahit.
“Cuma nanyain kabar. Baik-baik aja, kan?” suara di seberang menyahut. Samar ia merasakan pahit yang dirinya sendiri rasakan dari suara itu.
“Iya, baik. Kamu sendiri gimana? Kok tidak pernah ngasih kabar?”
“Nanti ada yang marah sama kamu,”
Ia terkesiap. Sadar bahwa ia tak bisa mengelak dari kenyataan, sekaligus kecewa.
“Enggak kok. Saya selalu nungguin kabar kamu, tapi tidak pernah ada. Saya pikir kamu sudah lupa sama saya,” ujarnya pelan-pelan, hati-hati. Ia mengatur napasnya dengan seksama supaya tidak ada yang mengalir turun dari kedua matanya.
“Tidak. Mana mungkin saya lupa sama kamu,”
Sejuk ia rasakan saat mendengar kata-kata itu terucap. ‘Saya rindu kamu,’ ujarnya dalam hati.
“Kok diam? Lagi sibuk, ya? Ya, sudah. Kapan-kapan saja saya telepon,” suara di seberang berkata, bingung dengan hening yang dirasa tidak wajar.
“Ah, tidak. Maaf, saya melamun. Saya baru bangun tidur. Mungkin nyawa saya belum sepenuhnya terkumpul,” sahutnya buru-buru, takut kehilangan kesempatan yang mungkin tidak akan pernah dimilikinya lagi.
“Saya yang bikin kamu bangun, ya? Maaf sudah mengganggu. Ya, mungkin saya tidak tepat waktu menelepon kamu. Lain waktu saja kita ngobrol lagi. Makasih, ya”
Telepon itu terputus. Yang menelepon sudah menutupnya. Ia memejamkan mata kuat-kuat, berharap telepon tadi hanya mimpi yang terlalu nyata sampai-sampai ia mengigau. Namun ia sadar hal itu terlalu nyata untuk sekedar menjadi mimpi. Sedetik kemudian tangis itu meledak sudah. Sebab tak terdengar lagi olehnya suara yang begitu dirindukannya, suara yang begitu dicintainya, suara yang begitu ditunggunya setiap hari.
Darahnya berdesir. Dunianya sekali lagi berguncang hebat meruntuhkan dinding-dinding pertahanan yang disusunnya selama ini dari segenap harga diri dan sakit hati. Baginya, lebih baik nama itu tak pernah lagi muncul. Sebab, sebentar saja nama itu terlintas, hatinya akan hancur mungkin selamanya. Mencoba bertahan pun percuma. Ia tak tahu lagi apa yang harus dipertahankan. Hatinya terlanjur memilih. Hatinya terlanjur dimiliki. Kendati ada seorang lain yang mencoba mengisi, tak akan pernah sama lagi.
Sejak dulu tak pernah ada padanya, pikiran untuk segera melupakan. Hanya keinginan tanpa usaha. Yang ada padanya, segenap rasa yang terbentang tiada berujung dan berdasar. Yang ada padanya, cinta yang memberi dan terus memberi. Bedanya, bila dulu hal itu nyata dan mempunyai wujud, kini hal itu hanya menjadi utopis yang tak bermakna.
Dan telepon tadi membolak balik segala yang dijaganya. Membuatnya jumpalitan, menghilangkan gravitasi yang dimilikinya sehingga hilang padanya kemampuan menjejak bumi.
“Saya rindu kamu,” ujarnya, lebih kepada dirinya sendiri. Mencoba menghibur diri, atau mungkin mengasihani diri.
Detik demi detik dirasakannya hening. Ia merasa terjebak dalam lansekap gurun waktu yang mahaluas. Yang membuatnya berputar-putar, berlarian mengejar oase yang ternyata sebuah fatamorgana. Ketika jauh tampak nyata, setelah didekati ternyata hanya bayangan. Dalam hati ia merutuki segala kelemahannya, menyalah-nyalahkan dirinya sendiri yang tidak waspada menjaga hatinya sehingga ketika jatuh, benar-benar jatuhlah ia dan menggila dalam cinta. Padahal dari awal pun, ia sadar sungguh sepenuh akal sehatnya bahwa ia, sekeras apa pun ia mencoba segala cara, tidak akan pernah bisa seutuhnya memiliki.
Ia lelah menangis. Sambil sesenggukan, dihapusnya air mata yang berderai itu. Dibenamkannya kepalanya pada bantal, matanya dipejamkan erat-erat, bibirnya digigit sekuat tenaga, supaya tak lagi ada padanya rasa ingin menangis. Dicobanya untuk tegar. Telepon tadi menyadarkan separuh dari dirinya bahwa mereka telah saling memaafkan, mungkin juga merelakan. Mungkin juga, sebentar lagi mereka akan saling meninggalkan. Dirinya telah selangkah mendahului walau hatinya enggan mengakui.
Lama ia mematung. Meredam segala perasaan yang sempat meluap. Sadar baginya semuanya berjalan salah kaprah. Semuanya terasa tumpang tindih. Semuanya salah penempatan. Tidak adil bagi dirinya, sebab ia tahu cinta itu masih dan akan selalu ada di antara mereka, namun entah apa saja yang menjadikannya tak bisa bersatu. Mungkin harga diri yang sama-sama terlalu tinggi, mungkin karena ia sendiri kini telah orang lain miliki. Maka dengan segenap kekuatan yang tersisa, dirapikannya perasaan itu, dikemasnya rasa rindu dan sayang yang besar itu, dilipatnya hati-hati agar muat dimasukkan ke sebuah kotak pandora untuk kemudian dimasukkan dan dikunci rapat-rapat dalam hati agar tidak lagi menyakiti. Tak lagi ditolehkan hatinya ke belakang.
Ia berjalan maju walaupun menyeret masa lalu.
Rasa bersalah menggerogoti. Diingatnya seorang nyata yang kini siap menemaninya setiap detik. Ditariknya napas untuk menenangkan diri. Kemudian diambil olehnya handphone yang kini tergeletak bisu. Ditekannya nomor yang begitu dihapalnya tanpa membuka buku telepon.
Bunyi nada sambung.
“Halo,” ada suara di seberang menyahut dengan rindu.
“Halo, aku kangen,” ujarnya.
Depok, 27 September 2009
Harusnya kamu jangan telepon saya lagi