20091004

BERTAHAN

Sudah setahun berlalu sejak hilang dari Saya jejak hadir Kamu. Mungkin rasa ini juga telah pupus oleh waktu. Rindu Saya bisu, sebab tak mau Saya jadikan pilu. Saya relakan sendu pergi berlalu, sebelum Saya tersadar pahit Saya semakin biru.
Bukankah akan selalu ada perpisahan sehabis pertemuan?
Saya mencoba untuk terus bertahan. Pikiran Saya tak lagi lugu walau orang-orang masih anggap Saya bocah ingusan. Sakit hati di masa lalu telah memberi Saya luka. Maka Saya belajar menerima dan tidak lagi meminta, daripada kelak Saya harus kembali menelan pahit yang memberi hampa.
Dan Saya yakin, Saya hanya perlu mengamini, apa yang Saya dapat adalah yang Saya butuh, bukan yang Saya mau.
Kamu mungkin berpikir Saya tak layak untuk Kamu. Namun beginilah Saya adanya. Tak ada yang perlu ditambah atau pun dikurangi dari Saya. Bila Kamu tak bisa menerima, Saya paham itu. Kamu terbiasa dengan yang sempurna dan yang nyaris sempurna mungkin, sementara Saya tidak sama sekali. Saya jauh dari sempurna. Bahkan mungkin lebih dekat dengan tidak sempurna. Bila Kamu tidak bisa menerima, Saya, sekali lagi, paham itu. Saya terbiasa menerima dan hidup dalam ketidaksempurnaan. Karena itulah Kamu sempurna bagi Saya.
Ketika Kamu pergi, Saya tak mampu menangisi. Yang Saya mengerti, Kamu pergi bukan karena rasa sudah tidak ada lagi. Namun entah, Kamu pergi mungkin karena Kamu memang ingin dan harus pergi. Sebab sia-sia bagi Kamu bila tetap bersama Saya jalan beriring. Dan sudah seharusnya begini. Sebelum Kamu dan Saya mabuk tidak sadarkan diri. Pesta harus usai.
Terlalu banyak kemungkinan. Dan peluangnya hanya satuperdua. Tidak ada frekuensi harapan karena kesempatan mencoba hanya sekali seumur hidup.
Saya mencoba lari. Dan lari. Lari dan lari dan lari sampai Saya merasa jantung Saya sebentar lagi berhenti. Tapi Kamu tetap tidak terkejar. Saya merasa diri Saya berlari di tempat. Capeknya sama. Tapi tidak mengurangi jarak. Saya hampir putus asa. Kamu dan Saya sudah beda dunia. Kamu berpijak di atas bumi yang tidak sama dengan Saya. Dan Saya hanya bisa menunggu .
Maka sekarang Saya diam saja. Tetap di tempat. Saya siapkan perangkap. Supaya Kamu terjerat. Saya tertawa ketika Kamu dengan mudahnya melompati perangkap Saya itu. Hahaha. Ternyata Saya memang bodoh. Bodoh sekali. Sangat bodoh. Saya terpuruk. Sekali lagi, hahaha.
Saya renungkan. Bila bertemu, suatu saat pasti akan berpisah. Maka Saya hanya bisa merelakan. Bila memang waktu berjalan ke depan, saya akan ikut saja. Tidak akan Saya coba untuk mundur ke belakang melawan.
Kamu bilang pada Saya, supaya tidak melupakan. Tapi Kamu begitu saja berjalan meninggalkan. Adilkah bagi Saya? Saya hanya mencoba bertahan.
Sudah setahun berlalu sejak hilang dari Saya jejak hadir Kamu. Mungkin rasa ini juga telah pupus oleh waktu. Rindu Saya bisu, sebab tak mau Saya jadikan pilu. Saya relakan sendu pergi berlalu, sebelum Saya tersadar pahit Saya semakin biru.
Jakarta, 28 September 2009
untuk Kamu yang membuat Saya biru