20090711

RINDU

Sudah cukup lama kita tak lagi bicara. Sudah cukup lama pula hening kerap menjadi pembunuh waktu kala kita bersama. Aku ingin mencoba mengelak. Namun tak sanggup membuat tangis menjadi tawa yang gelak. Aku bertahan tanpa tahu pasti apa yang sedang kupertahankan. Yang kutahu, aku sakit. Kamu juga. Aku merasakannya. Jauh di dalam lubuk hati tempat rasa dan egomu bergumul. Dan egomu lah pemenangnya.
Bukannya aku takut kehilangan. Rasaku padamu sudah terlanjur besar. Sampai-sampai memberikanku kekuatan untuk rela bila memang harus kehilangan. Memberiku pijakan bila aku memang sudah harus berjalan sendirian. Hampa tak bisa lagi dijadikan alasan untuk kehilangan pegangan.
Kamu mencintai aku dengan segenap egomu, dengan segenap kesombonganmu, dengan segenap harga dirimu. Hidup menyakitimu dan telah menjadikan hatimu berlubang, walaupun diisi, takkan pernah bisa menjadikannya penuh. Aku berusaha mengerti. Waktu membuatku belajar untuk dapat memahami cintamu yang tak jujur itu. Kamu pernah bilang padaku, kamu adalah pasir. Semakin digenggam, semakin cepat hilang. Namun pernahkah kamu sadar, tak pernah sekali pun aku mencoba menggenggam kamu? Sebab bagiku kamu terlalu rapuh bahkan untuk disentuh. Aku takut sewaktu-waktu kamu pecah. Kujaga kamu dengan peluh dan air mata pun rela.
‘Aku takut kehilangan kamu. Mungkin kamu akan tertawa mendengar aku bicara seperti ini, tapi hanya kamulah bentuk perhatian itu,’ untuk pertama dan terakhir kalinya kamu pernah bicara seperti itu padaku. Tanpa kukatakan, aku menyampaikan padamu. Aku hanya ingin menambal hatimu supaya tak lagi berlubang. Supaya kelak, bila bukan aku, akan ada yang bisa mengisinya hingga penuh. Sebab aku telah lama terjaga.
Aku telah terjaga dari mimpi indah tentang cinta yang abadi. Maka, sejak kamu begini, perlahan kututup hati ini. Aku tak mati. Aku siaga. Sebab tak mau lagi terluka. Kali ini aku hanya ingin bertanya ada apa. Sebab tak kutahu satu pun alasan mengapa. Kamu selalu menghindar. Begitu pun sekarang.
Malam itu sengaja aku datang. Tak kukata. Kamu marah, tapi tak terungkap seperti biasa. Aku tahu pasti akan seperti ini jadinya. Namun aku tetap ingin malam ini ada. Aku berkeras sebelum jengah. Bagiku, sebab kamu yang memulai, maka biarlah kamu juga yang mengakhiri. Supaya tetaplah ada pada masing-masing dari kita harga diri tanpa perlu sakit hati.
Kamu mengalah.
Dalam hening dan kebekuan yang tak bisa dilebur, aku meminta kamu bicara. Namun kamu diam. Tak sekalipun kamu mau menatap aku. Kesombonganmu membuatmu jadi semakin kecewa. Sakit itu ada padamu, terlukis jelas di matamu. Mungkin kamu takut aku tahu. Tapi kamu tahu aku selalu tahu. Dan kamu mengelak.
“Kamu pulang saja, kuantar kamu,” katamu lelah.
Kamu lelah untuk terus bersembunyi. Tapi kamu tetap tak mau merendah, tak mau kalah. Padahal tak pernah ada pertandingan di sini. Perlahan aku iba.
“Aku tidak bisa pulang,” jawabku.
“Aku tak bisa menemanimu. Kamu di sini apa mau sendiri?”
Kamu semakin letih. Tembok pertahananmu runtuh. Namun tidak aku. Maka kembalilah kita pada hening yang mengungkap semua. Pikiran kita masing-masing semakin memberi jarak. Seolah jurang kasat mata membelah dunia kita. Bila kita mencoba mendekat lagi, hanya akan terperosok jatuh lalu mati. Tak ada jembatan untuk menyeberang. Sepertinya ia sudah lapuk oleh waktu.
“Putuskan sekarang juga,” kataku.
Kamu terenyak. Aku sadar aku telah mengucapkan sesuatu yang ambigu. Entah kamu mengerti atau justru salah mengerti. Aku bukan orang yang mampu menyampaikan makna dengan benar, apalagi indah. Maka tak kusalahkan kamu bila memang salah mengerti.
“Banyak hal yang tak bisa diungkapkan,” katamu.
Aku diam.
“Aku sudah penat. Dan saat penat ini kini di puncak, kamu justru terus menerus datang seperti penagih hutang. Tak sadarkah kamu hanya menjadi beban?” suaramu parau, “Aku tidak mengerti jalan pemikiranmu. Sungguh. Terkadang kehadiranmu justru merepotkan aku. Bahkan kamu seperti ingin mengikat aku sekarang. Karena itulah aku menjauh. Aku semakin merasa bersamamu aku tak menemukan tujuan. Tak ada lagi yang harus diperjuangkan atau dipertahankan,” kamu bicara bertubi-tubi.
“Selama ini aku mempertahankannya sendirian. Memperjuangkannya sendirian,” jawabku.
Wajahmu semakin pahit. Tanggul air mata itu akan jebol sebentar lagi.
“Banyak hal yang tak bisa aku ungkapkan, salah satunya…” kamu berhenti sejenak, “Aku ingin berpisah denganmu.”
Rasa lega itu mengalir memenuhi rongga dadaku. Namun tak lekas aku bersorak. Aku takut setelah ini justru aku yang menangis.
“Aku masih ingin bersamamu. Kamu tahu itu. Mengapa kita tidak mencobanya sekali lagi?” ujarku. “Kita berjalan tanpa komitmen, dan,”
“Justru karena tak ada komitmen! Maka tak pernah ada tujuan yang jelas dalam hubungan kita! Aku hanya ingin ketegasan!” bicaramu pelan namun nadamu tinggi, “Apa yang kujalani bersamamu berlalu, lewat begitu saja, tanpa ada yang berarti. Walaupun kebersamaan kita tidaklah sebentar, tapi tetap saja tak ada yang membekas.”
‘Ya, Sayangku. Sebab ada lubang di hatimu. Maka hadirku tak lebih dari sekedar tukang tambal. Namun tambalan itu tak bisa mewujud sekarang. Nanti. Nanti, Sayangku. Maka bersabarlah,’ ujarku dalam hati. Aku tak ingin mengungkapkannya, sebab kata tak cukup untuk mampu mengungkap.
“Kamu terlihat sakit,” kataku.
Kamu menggeleng perlahan. Seolah ingin menghalau rasa yang tak bisa lagi ditutupi itu.
“Kamu tahu aku tak ingin berpisah denganmu. Aku takut kehilanganmu,” kataku untuk yang terakhir kali. Tetap tak ada kata ‘jangan pergi’ yang mengiringi, bahkan hingga akhir.
“Kita bisa jadi teman,” jawabmu.
Dan aku cuma tertawa, tentu saja tetap di dalam hati. Sebab perkataanmu sungguh sia-sia. Itu hanya ucapan perpisahan, formalitas bagi mereka yang ingin meninggalkan supaya yang ditinggalkan rela melepaskan mereka. Kenyataannya perpisahan tetaplah perpisahan. Bagiku tak ada lagi yang harus disesali. Aku memang tak ingin kehilanganmu, dan walaupun begitu kenyataannya aku tak meminta kamu untuk tidak pergi, ataupun sekedar tetap tinggal di sini. Karena tak pernah ada sejak mula kita bersama terucap kalimat ‘jangan tinggalkan aku.’ Maka berpisahlah kita tanpa akhir yang dramatis. Tanpa pelukan terakhir, tanpa ciuman terakhir. Pintu itu sudah tertutup bila kita hendak berbalik. Kita hanya bisa kembali berjalan di setapak masing-masing.
Maka hanya waktu yang dapat menyembuhkan luka. Kamu harus sadar itu.
Sampai saat aku menulis ulang kisah ini untuk mengenang dirimu, aku masih belum sanggup mengurai air mata ini jatuh. Entah mengapa. Mungkin aku memang terlalu pengecut untuk mengakui bahwa diriku begitu sedih kehilanganmu. Terkadang aku berpikir bahwa mereka yang kuat dan sungguh tegar adalah mereka yang sanggup menangis saat situasi mengizinkan mereka untuk menangis. Maka aku, adalah bukan mereka yang kuat itu. Aku masih tetap membiarkan bayang- bayangmu ada, tidak untuk menjadi khayalan, namun sungguh menjadi kenangan. Sebab biarlah aku belajar mengatasi sepi ini sendiri.
Aku hanya butuh jeda untuk kembali menjadi nyata.
Jakarta, 15 Mei 2009
Aries, reka tentangmu menjelma cerita