20190717

Bom Waktu

Tak ada yang lebih kurindukan saat ini dari mengisap sebatang rokok dan menenggak segelas bir dingin di bar tua yang sunyi namun selalu melantunkan lagu kesukaan kita. Bar yang sepi dan sedikit tersembunyi, dengan sebatang pohon besar yang sepertinya sengaja dibiarkan rimbun untuk membuat isi tempat itu tak mudah terlihat dari luar. Tidak banyak orang datang ke sana, entah karena tempat itu punya kesan yang muram–jauh dari ingar bingar, atau memang karena tidak trendi saja; dan itu pula alasan kita begitu senang minum di sana.

Sudah beberapa bulan ini bar itu tutup. Renovasi, kata orang-orang yang tinggal di sekitar tempat itu, meskipun tak kulihat dan tak kudengar pula tanda-tanda pembangunan terjadi di sana. Memang biasanya menjelang bulan tertentu, bar-bar di sepanjang jalan ini tidak membuka lapaknya, termasuk bar tua kesukaan kita. Walau begitu, tutup pun cuma sebulan paling lama. Kali ini bahkan aku tak ingat sudah berapa bulan sejak terakhir kali ke sana, bar itu tak kunjung buka, dan selama beberapa bulan itu pula aku tak lagi mengisap rokok dan menenggak bir. Dan tak pula bertemu denganmu.

Tidak bertemu denganmu sebenarnya bukan masalah. Aku tak berusaha mencarimu meskipun pertanyaan itu terus menggantung di dalam kepala. Matikah kau? Sebaiknya demikian. Mungkin tak harus mati, tapi sebaiknya jangan kau munculkan batang hidungmu di depanku di saat aku sedang sangat merindukanmu—meskipun tak mungkin kuakui itu. Sebab jika kau muncul, hal yang pertama kulakukan adalah berteriak "Maling!" sekencang-kencangnya agar kau digebuki warga dan kepalamu dikepruk batu sampai pecah. Aku sangat ingin kau mati.

Sejak bar tutup, hilang satu kebiasaan yang bisa kulakukan untuk membunuh kesenggangan. Aku tak berkawan baik dengan waktu luang, karena banyak hal bertentangan muncul di kepalaku dan jelas aku tak suka itu. Mungkin kau sengaja bermain-main dengan isi kepalaku sebab kau tahu aku mudah terpancing untuk begitu. Tidakkah aku terlalu mengada-ada dan menyulitkan diri sendiri karena bergantung padamu hanya untuk melakukan hal yang sesungguhnya sepele saja dan bisa dilakukan kapanpun aku mau? Sedangkan aku sendiri sedang mencari-cari alasan untuk membencimu sedemikian rupa supaya ketika aku tahu ternyata kau belum mati, aku masih bisa tetap melakukan segala sesuatu yang aku mau?

Sepertinya itu bukan alasan yang paling mendasar. Bisa jadi aku mengerti mengapa kau hilang begitu saja. Kau pecemburu buta dan aku tahu betul itu. Kali terakhir kita bertemu, kau menghunjamku habis-habisan dengan sorot mata yang penuh marah, namun kemarahanmu selalu tertunda. Aku tak benar-benar mengerti mengapa kau akhirnya tak pernah mengungkapkannya. Mungkin kau terlampau ketat mengikat perasaanmu sendiri sehingga aku bisa selalu semena-mena menjejalimu dengan hal-hal yang bisa meledakkan kita berdua.

Aku dan kau senantiasa menggenggam bom waktu. Tak ada yang benar-benar ingat siapa yang memegang detonator, sebab kita selalu saling melemparkannya agar tak ada di antara kita harus menanggung beban tanggung jawab. Kini aku tahu di tangan siapa detonator itu berada dan bisa-bisanya kau hilang bersama benda keparat itu, sementara aku menggenggam bom ini sendirian. Itu sebabnya aku enggan menyalakan api untuk membakar rokok sekalipun, sebab bisa saja nyala adalah tanda bagimu untuk menghancurkan aku dalam sekali ledak.

Apakah aku takut padamu? Tidak, bukan demikian. Aku perlu bersiasat supaya bom waktu ini meledak tanpa perlu menghancurkan aku, menghancurkan kita. Sebab aku ingin menghancurkanmu tanpa perlu menggunakan apa pun. Aku ingin menghancurkanmu menggunakan dirimu sendiri.

Mungkin besok akan kukunjungi bar itu sekali lagi.
Siapa tahu sudah selesai direnovasi.