20151006

Malam di Kereta yang Berjalan Lambat Menyusuri Kota

Hari-hari ujung seperti sekarang, sebagian orang mengalami malam yang begitu panjang dan lambat. Sebagian lagi mungkin mengalami malam yang justru sangat singkat dan padat, begitu penuh tekanan dan kemarahan. Sebagian kelelahan, sebagian merasa sebaliknya. Walau begitu, malam tetaplah malam. Semua menikmatinya--meski tidak dengan rasa yang nikmat. Pun dengan saya. Pun dengan ibu muda yang berdiri tak jauh dari saya.

***

Ibu muda itu menggendong anaknya yang masih begitu kecil di gerbong kereta yang begitu sesak oleh budak-budak modal--yang menuju pulang setelah seharian mencari nafkah di tempat yang tak selalu mereka suka. Tak seorang pun memberi ibu ini duduk, padahal anaknya menangis--menjerit dan sesekali melolong--mungkin karena lelah dan sakit. Tak ada yang peduli. Tak ada yang berniat membantu. Termasuk saya yang justru keasyikan melihat mimik masing-masing orang yang berada di sekitar--tak ketinggalan mimik pasangan ibu dan anak itu. Orang-orang itu justru berdiri menjauh. Sebagian menutup hidung, sebagian terlihat mau muntah, sebagian memilih untuk berjejalan dan berdesak-desakan menukar tempat berdiri.

Kereta berjalan lambat. Orang-orang gusar.

Saya baru menyadarinya setelah lewat beberapa stasiun. Betapa sial memang orang-orang yang berdiri tepat di sebelah pasangan ibu dan anak itu, sebab bau tai dan bau anyir yang busuk dan tajam menguar dari tubuh keduanya. Borok yang begitu basah tampak di sekujur tubuh anak itu. Sakit sekali, mungkin, anak kecil itu, sehingga tak mampu bagi dirinya untuk menahan apa yang seharusnya tak dikeluarkan sembarangan di tempat umum. Entahlah, sepertinya ia memang buang tai sembarangan untuk meredakan sakit pada tubuhnya. Ibu muda itu kena getahnya. Baju dan badannya berlumuran tai.

Kereta berjalan lambat. Orang-orang semakin gusar.

Anak itu tampaknya tidak punya rasa lelah. Banyak orang sudah turun, banyak orang juga sudah naik kereta ini, dan anak itu belum berhenti menangis. Bahkan semakin keras ia menjerit dan semakin sering ia melolong. Orang-orang cemas mengapa tak segera turun pasangan ibu dan anak itu, sebab telah pekak telinga mereka oleh tangis, jerit, dan lolong. Si ibu hanya diam saja. Sesekali matanya terpejam, tubuhnya limbung karena kantuk yang hebat. Ibu itu semacam menyediakan tubuhnya untuk menampung lelah anaknya.

Kereta berjalan lambat. Orang-orang semakin tak mampu gusar.

Sudah hampir selesai perjalanan kereta ini dan ibu-anak itu belum turun juga. Tampaknya mereka akan turun di perhentian terakhir. Anak itu begitu keras kepala. Tangisannya tak kunjung berhenti. Ibunya pun begitu keras kepala, sebab tetap teguh berdiri ia meski tubuhnya seolah-olah habis menggantikan lelah yang harus dibayar. Orang-orang sudah merasa masa bodoh dengan mereka, meski mual dan jijik tak dapat dimungkiri.

***

Habis. Perjalanan terakhir sudah selesai. Malam larut dan masing-masing orang hilang ke tujuan. Ibu dan anak itu--masih dengan tangis yang tak usai--ikut selesai dengan orang-orang.
Pada malam yang lambat, mereka hilang entah ke mana.