20150813

Cerita dan Pertanyaan Tentang Nestapa

untuk AN:
yang sudah pernah kucinta,
yang kini masih kucinta,
dan yang sedang ingin kucinta.


Burung-burung mulai terbang rendah sore ini. Mungkin mereka lelah. Mungkin mereka jengah menerus terbang, berada di ketinggian langit ibukota yang sesak dengan asap.

Sore sendu. Angin bertiup cukup kencang. Langit muram, tapi hujan tak kunjung datang. Semacam menunda, atau sengaja ingin membuat orang-orang marah karena udara jadi sedemikian panas dan lembab.

Katamu, "Hujan tak melulu harus basah, bukan? Langit memang suka pura-pura. Gelap tak berarti akan datang hujan yang kau inginkan. Pun panas, tak berarti selalu panas. Langit memang suka pura-pura."

Ya, setuju.

Langit memang suka pura-pura. Seperti aku. Itu sebabnya aku begitu suka dengan langit. Pada suatu hari yang kuharap dekat, aku ingin bisa ke sana. Menyapanya untuk sekadar bilang, "Hai, mengapa kita begitu serupa? Mengapa begitu suka pura-pura?"

Aku, seperti halnya langit, memang suka pura-pura. Pura-pura bahagia. Pura-pura berduka. Pura-pura lupa. Pura-pura ingat segala. Pura-pura suka pura-pura.

"Oh, pura-pura," katamu. "Bahkan denganku?"

Tentu itu pertanyaan bodoh yang, aku tahu, kamu tak perlu jawabnya.

"Ya, bahkan denganmu, dan dengan diriku sendiri. Mungkin dengan siapa saja. Dengan apa saja."

Kamu tertawa. Ceria seperti biasa. Kamu pikir aku bercanda. Ya, aku suka bercanda. Bukankah aku suka pura-pura? Bercanda adalah bagian dari kepura-puraan yang biasa aku lakukan kala duduk sendiri menikmati angin yang mengundang sakit.

Seperti sore ini.

Burung-burung terbang semakin rendah. Sebagian mampir istirahat di atap-atap rumah.

"Sebentar lagi matahari akan surut. Aku masih ingin bercerita."

Kamu tahu, seperti aku selalu tahu bahwa kamu sudah tahu, aku tidak ingin bercerita, melainkan bertanya. Maka, dengan tubuh yang telah renta oleh hidup, kamu menyiapkan dekapan untukku: menyiapkan mangkuk tempat aku memerah air mata.

"Apa yang ingin kamu ceritakan mengenai Nestapa?"

"Nestapa datang dan pergi sesuka hati. Mengapa Nestapa datang dan pergi? Mengapa Nestapa begitu sesuka hati?" tanyaku dalam dekapmu.

"Hanya dengan begitu aku bisa hadir dalam tiap hidupmu: menjadi masa lalu, menjadi masa sekarang, dan menjadi masa depan. Nestapa adalah penanda waktumu untuk terus ingat akan Aku. Sekali peristiwa, Aku akan datang menjemputmu. Saat itulah kita abadi."

Burung-burung tak lagi terbang. Sore berganti malam.
Kamu hilang menjelma bayang-bayang dan aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal.