20150731

Taman

Kebetulan itu tak pernah betul-betul ada. Kalau pun yang namanya kebetulan memang ada, itu hanya akal-akalan saja. Entah akal-akalan siapa, terserah.

Tapi apa yang tertulis di sini tidak sungguh-sungguh punya kaitan dengan kebetulan. Sebab kebetulan adalah sesuatu yang jauh dan begitu mengawang. Opini ngawur mengenai kebetulan hanya pengantar buat kisah cinta picisan yang itu-itu lagi. Tidak masalah kan? Jika bosan dengan kisah yang berkutat dengan hal yang sama, pembaca dapat berpindah pada laman lain yang memberikan variasi lebih.

Namun, bukankah kisah cinta sebenarnya hanya begitu-begitu saja? Bolehkah kita memulainya hanya dengan penantian?

Suatu hari, gadis kecil yang malang itu begitu percaya bahwa penyair tua yang hampir mati akan menjemputnya di Eden. Ia menanti tiga puluh tahun lamanya di pintu gerbang. Sendirian. Seperti kisah yang sudah-sudah, penyair tua bukannya segera mati, ia justru main gila dengan yang lain-lain. Gadis kecil itu sesungguhnya tidak peduli betul apakah penyair ingin cepat mati atau ingin gila. Yang ia pedulikan adalah jawaban yang keluar dari mulut si penyair. Jawaban tanpa pertanyaan.

Kebetulan, setelah tiga puluh tahun menunggu, Waktu berbahagia. Ia pun berbaik hati memberikan kepada gadis kecil itu kekekalan untuk bisa menunggu sesuka hatinya tanpa perlu menjadi tua dan mati seperti penyair--kekasihnya yang jalang.

Pada suatu hari yang lain, gadis kecil itu akhirnya jengah menanti dan memilih untuk sejenak pergi meninggalkan pintu gerbang. Ia pun melangkahkan kaki menuju taman. Taman yang  terletak di bawah tangga Menara Babilonia. Taman yang menyimpan padanya kenangan-kenangan milyaran tahun serta mimpi berisi bunga kata-kata. Gadis kecil itu berharap menemukan kesendirian di sana, tetapi yang ia temukan adalah kesepian, hingga seseorang muncul dan membagikan masa lalu yang sama.

Selanjutnya, seperti yang dapat dikira-kira karena sudah-sudah, gadis kecil menjatuhkan diri di taman. Menghamburkan kenangan, lalu kelelahan.