PULANG
# Rindu penyair terbayar saat kenangan pulang dan sudah tumbuh manis menjadi puisi.
# Puisi pergi ke dunia Twitter. Katanya, ia ingin jadi terkenal. Penyair
harap-harap cemas puisi masih mau pulang dengan sederhana
# Anak kurus itu pulang juga setelah kemana-mana seharian. Ternyata ia mencari kata-kata untuk diseduh menjadi puisi.
# Setiap kali pergi, aku merasa sedang pulang dalam kepergian selanjutnya.
# Pulang, kekasihku, adalah melihatmu terurai lagi menjadi kata setelah lama ditenggelamkan puisi.
# Pulang berkeliaran di linikala. Puisi-puisi rebutan pulang supaya menang.
# "Diam-diam saya berharap, lewat pulang saya bisa memiliki kamu." Demikian doa banyak orang hari ini.
# "Kapan pulang?" tanya penyair kepada inspirasi. "Barusan, saat pergi,"
jawab inspirasi. "Kuberi kau oleh-oleh puisi," sambungnya.
# Seingatku, kamu kurus sekali saat dulu pergi. Setelah pulang bertualang, kamu jadi gendut, oleh kata yang tak juga jadi puisi.
# Setelah sekian lama dianggap hilang, akhirnya dia pulang juga. Pulang dalam bentuk kenangan.
# Terima kasih, Penerbit. Kalau kamu tak buat kuis yg hadiahnya buku baru penyair kecintaanku, aku tak akan pulang ke linikala.
# Pulangmu adalah penantian setiap orang yang memujamu. Aku mencintamu, maka yang kunanti adalah pergimu. Pergi menuju aku.
# Setiap melakukan perjalanan, kamu tidak pernah benar-benar tahu sedang pergi atau pulang. Yang kamu tahu, tujuanmu adalah aku.
# Penyair mengucapkan selamat pulang kepada puisi setelah sekian lama berkelindan menjadi tweet. "Kertasku menunggumu."
# Penyairku sayang, terima kasih sudah mengantar puisimu pulang. Saya siap mendekap dalam bayang.
DILEMA
# Pantai begitu resah malam ini. Ia sedang sangat ingin bermain. Laut mengajaknya pergi, tetapi daratan telanjur memeluknya erat.
# Asap sedang bingung pagi ini, ingin menjadi kebul rokok atau kepul di cangkir kopi.
# Pada suatu ketika, kakimu akan tidak mengerti harus memilih terus bertualang atau kembali pulang.
# Selama tiga puluh tahun kata diam dalam tubuh puisi. Sekarang ia dilema,
apakah tetap jadi puisi atau naik tingkat jadi penyair.
# Dilema hinggap di kepala-kepala yang jempolnya sedang sibuk memilah-milih puisi.
# Hujan dilema. Ia sudah harus jatuh turun, tetapi banjir belum lagi surut dari mata sundal itu.
# Kamus mumet. Dilema dan pusing bertengkar soal makna mereka. Kamus tak benar-benar bisa jawab.
# Penyair mulai dilema, memilih memberi makan istri atau puisi. Isi
dompetnya yang semakin kurus hanya mampu mencukupi salah satu.
# Orang gila itu sadar juga bahwa sedang mengalami dilema; harus rela dianggap waras atau tidak bisa masuk rumah sakit jiwa.
# Penyair bingung sekali. Ia harus memilih satu yang benar-benar dilema di antara berjuta yang sekadar pusing dengan dilema.
LAJANG
# Kukira selama ini aku lajang. Ternyata sejak awal aku dipacari kesepian.
# Setiap malam minggu ia selalu mengaku lajang, sebab sehari-harinya sudah jadi jalang.
# Hari ini aku terlambat ikut pesta lajang gara-gara bangun kesiangan. Padahal pestanya awal pekan.
# Sepertinya aku tidak akan sempat membuatmu lajang lagi. Ya tidak apa-apa, asal bisa jalang satu sama lain saja.
NODA
# Hampir setiap hari aku main-main ke neraka. Aku dibenci teman-teman, dianggap kotor dosa. Padahal itu noda saja, bukan dosa.
# Hari ini kita mencoba berkubang supaya bernoda, tapi kok ya noda selalu muncul ketika tidak diminta.
# Tak sengaja Penyair menumpahkan tinta di atas kertas-kertas puisinya. "Wah, kukira akan jadi noda, ternyata jadi malam."
# Di ceruk matamu, kulihat noda kecil yang aku tahu tidak ingin kau hapus segera. Semacam masa lalu dan entah.
# Setiap pulang kantor, ibuku selalu penuh bercak noda. Kukira tinta transparan. Aku cerita pada ayah. Esok tak kutemui lagi ibu.
# Masa kecilku dihabiskan untuk mencoba bersihkan noda malam. Nodanya baru hilang setelah siang.
GULA
# Setiap pagi ibu membuat segelas teh dengan tujuh sendok gula. Kutanya kenapa banyak-banyak, hanya dijawab ibu dengan senyuman.
# Waktu kecil, pernah kutemukan patung Bunda Maria di pabrik gula tua. Entah kenapa bagiku Maria memang dibuat dari gula.
# Setiap pagi kamu seruput kopimu yang tanpa gula. Katamu, manisnya cukup dari kenangan saja.
# Kopi dan teh berbagi pahit tanpa ingat coklat tak bergula bisa jauh lebih pahit.
# Setiap kali hujan, kamu menadah airnya untuk diseduh bersama abu rokokmu. Kopi kenangan siap dinikmati, pahit tanpa gula.
PANGLIMA
# Akhirnya Panglima turun perang. Biasanya dia cuma duduk ongkang-ongkang.
# Mendadak ayah mengenakan zirah panglimanya. Setelah sekian lama menganggur, ia memutuskan untuk berperang lagi.
# Ketika ditunjuk menjadi panglima, kata menolak. Takut kalah dengan yang telah menjelma puisi.
HADUH
# Haduh, pagi-pagi aku kentut besar. Baunya semerbak, mengganti pewangi kamar.
# Semalam ia disandera insomnia. Ketika pagi menjelang, mengumpat ia, "Haduh, kenapa insomnia tidak sekalian minta tebusan!"
# Semalam angin besar menculik jemuranku dan menyekapnya di kamar tetangga. Haduh, padahal itu jemuran krusial, bentuknya segitiga.
# Haduh, rinduku sudah kumal saja. Padahal mau dipakai malam mingguan sama siapa.
# Haduh, kata-kataku sudah habis, padahal mau bikin puisi. Waktu kuminta sumbangan pada penyair, yang dia punya tweet semua.
# Haduh, sudah lama saya tidak menyambangi rumah Tuhan! Saya jadi tidak enak sendiri, padahal setiap saat bertemu di mana-mana.
# Haduh, kamu minta hadiah pacar mentang-mentang ulang tahunmu malam minggu. Padahal aku cuma bisa beri kamu rindu.