Saya ini orang yang punya selera aneh terhadap suatu benda, khususnya alas kaki. Untuk yang satu ini, saya amat sangat pemilih. Saya jarang beli alas kaki karena ingin punya yang benar-benar baik dan tepat menurut saya; baik di kaki pun di dompet.
Beberapa bulan lalu saya jalan-jalan dan singgah ke satu toko sepatu. Tidak lihat banyak-banyak, saya langsung jatuh cinta pada sebuah alas kaki. Benar-benar jatuh cinta, jatuh sejatuh-jatuhnya jatuh. Alas kaki itu memiliki tiga pilihan warna--coklat, oranye, dan putih. Saya suka dengan yang coklat. Sayang oh sayang, saat itu ayah sedang sakit keras sehingga saya harus melupakan keinginan membeli alas kaki tersebut walau sudah telanjur kepincut.
Beberapa waktu setelah usaha melupakan itu, ayah saya meninggal dunia. Untuk meredakan kesedihan, saya jalan-jalan ke toko sepatu yang itu lagi.
Mungkin memang jodoh. Alas kaki yang modelnya saya taksir itu ada lagi. Kali ini berdiskon pula! Betapa bahagianya saya. Tabungan masih cukup untuk memboyongnya pulang. Sayang oh sayang, alas kaki model tersebut dengan warna coklat idaman itu ukurannya terlalu besar untuk saya. Ukuran yang tepat sedang habis, yang tersedia tinggallah yang berwarna oranye. Saya tidak suka. Untuk kedua kalinya saya patah hati.
Saya masih mencoba mencari-cari karena berharap stok akan diisi kembali.
Sampai beberapa bulan kemudian, alas kaki itu masih terpajang di etalase toko tersebut. Kali ini saya tertohok oleh satu kenyataan. Alas kaki yang saya suka ukurannya terlalu besar. Sesuka apapun, meski terbeli tetapi tidak akan pernah bisa terpakai. Namun, alas kaki yang tidak saya suka justru memiliki ukuran yang tepat bagi saya. Ukuran yang saya cari yang seharusnya dimiliki juga oleh alas kaki incaran saya. Walau demikian saya tidak juga memilihnya karena saya memang tidak suka dan memilih untuk tidak memiliki sama sekali di antara keduanya.
Saya hanya mau alas kaki coklat itu.
Alas-alas kaki itu masih saja memanggil hingga sekarang.
Hahaha, ini ironis ya.