Kupikir waktu akan membuat kita benar-benar berpisah. Sampai kelak saat aku melihat pagi yang kau lihat adalah malam. Namun justru waktu yang mempertemukan kita kembali ketika kita bersama menggerutu oleh panasnya siang. Seperti dulu. Dan masih, kita bisa bercengkerama dan bercinta.
Aku ingin mengerti saat kesedihan dan rasa sepi itu mengantarmu kembali padaku. Kembali mendebik-debik dan melenguh dan dengan segala kekuatan kau mengejan membuat aku sempoyongan tak tahu arah. Bahasamu adalah birahi, sebab kau itu binatang. Waktu menjadikanmu manusia, tapi di hadapanku kamu tetap sama.
Kulit kita telah saling mengenal, bahkan hingga yang terdalam dan yang tersembunyi. Waktulah sang juruselamat yang membuat kita tak lagi mengenal hati, tapi juga kulit. Makanya bisa aku tahu kalau kau itu binatang, sebab manusia tak berbulu tapi berambut seperti monyet. Kau juga perkasa dan tahan lama. Manusia tak begitu. Aku menikmatinya segenap jiwa dan raga. Desahku liar dan tawaku lebar menghargaimu. Sungguh aku tulus melakukannya dan kamu tertawa tak percaya. Waktu tidak pernah membiarkan kita berlama-lama jadi aku harus memanfaatkan kali ini sebaik mungkin. Aku bilang padamu tapi lagi kau tak percaya.
Banyak yang berubah dari dirimu. Sinar mata yang kelam dan nyalang. Kau berusaha melindungi diri dari banyak hal termasuk aku. Aku tidak paham mengapa kau harus berubah tapi itu jalanmu. Lalu kita bercerita tentang banyak hal. Tentang senja yang jingga, tentang malam yang hitam. Tentang siang yang gersang, tentang pagi yang perih. Aku mendengarnya perlahan, sebab aku ingin terus mendengar suaramu dan mencium bau tubuhmu.
Detik ini kau peluk aku dengan segala rasa. Seperti pertama kali ketika aku masih malaikat. Aku tak menganggap itu palsu, hanya mengartikannya sebagai ucapan terima kasih. Sebab tak mungkin itu rindu atau haru, apalagi cinta. Menahun kita saling melupakan perasaan sentimental seperti itu. Juga karena aku tak lagi malaikat, dan waktu telah mengantarku mengenal neraka. Maka berlayarlah kita mengarungi lautan ketidakpastian dimana hanya ada aku dan kau yang termenung karena lagu sendu. Kita tertatih dengan satu dayung rapuh mencoba ke tepian.
Sayangnya ombak menghajar kita terlalu kencang. Walau tak lagi aku malaikat, aku belum setan. Maka aku jatuh tak bisa berenang, tak lama tenggelam. Kau yang binatang bisa bertahan sehingga selamat. Di saat seperti ini aku sangat ingin menangis dan menyesal, karena aku tahu hanya aku yang akan begini. Yang lain tidak. Namun, meski aku tahu, aku tetap berkeras untuk tetap seperti ini. Waktu menawarkan aku pilihan untuk berubah sayangnya aku sudah memiliki jawaban sendiri.
Bercinta denganmu adalah yang ternikmat bagiku. Demikian juga bagimu, bercinta denganku adalah yang ternikmat. Sebab kita telah berlatih dan tertatih untuk saling memuaskan. Tak ada yang lebih baik dibanding kita. Walau begitu adanya, cukup kita bersama untuk sekedar bercinta tanpa cinta. Di luar sana banyak yang lebih baik memberi cinta kepada kita. Waktu yang pernah berkata.
Dan kita tetap bercinta.